artikel poligami

                                                               HUKUM POLIGAMI
Kata poligami dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI) adalah sistem perkawainan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan pendapat beberapa penulis, bahwa poligami berasal dari kata yunani, yaitu poli, dari asal kata polus yang artinya banyak, dan kata gami, berasal dari kata gamein atau gamos yang artinya kawin atau perkawinan. Dari kata kedua tersebut dapat di ambil sebuah pengertian bahwa poligami merupakan suatu perkawinan yang banyak. Dalam islam poligami mempunyai batasan, hanya diperbolehkan hanya sampai empat wanita. Sedangkan pendapat yang membolehkan menikahi wanita lebih dari empat dengan penjumlahan dua, tiga , dan empat, ditolak oleh Al-qurthubi dengan mencatat kasus yang pernah terjadi di zaman rosululloh, dimana dicatat bahwa ketika harist ibn qais yang mempunyai istri delapan pada waktu ia masuk islam Nabi menyuruh memilih empat saja dan menceraikan sisanya. Banyak perbedaan mengenai poligami, perbedaan tersebut disebabkan perbedaan dalam memahami dan menafsirkan surat An-nisa ayat 3, sebagai dasar penetapan poligami. Menurut umumnya pendapat para ulama bahwa penafsiran pada ayat tersebut berkenaan dengan anak yatim yang dinikahi walinya. Di samping itu ayat ini juga menghapus kebiasaan orang arab, dimana seorang wali menikahi anak asuhnya hanya untuk mengikuti hawa nafsunya yang ingin menikmati kecantikan dan kekayaannya saja . Dan alasan kenapa Rosululloh sendiri menikahi lebih dari empat karena ada beberapa alasan yang penting. Pertama melihat fakta sejarah pernikahan nabi, kedua ada hal-hal khusus yang hanya berlaku kepada Nabi Muhammad saw dan tidak untuk orang selain beliau. Hal ini jelas disebutkan dalam Al-Qur’an. Misalnya dalam suroh Al-ahab (33:51-52) ketiga pada waktu itu ketika sering terjadi perang dan banyak anak yatim yang ditinggal orang tuanya. Hubungan dengan status melakukan poligami ketika membahas surat annisa ayat 3 para ulama kebanyakan menghukumi poligami hanya bersifat boleh (mubah) keputusan inipun masih di ancam sebuah kondisi ketidak mampuan dalam berlaku adil. Kebolehan ini harus disertai syarat-syarat yang pertama :kemampuan harus berbuat adil di antara para istri, baik dalam segi material maupun non-material, kedua : kebolehan poligami harus melihat situasi dan kondisi. Ketiga : keberadaan poligami lebih sebagai jalan keluar memecahkan masalah atau karena darurat seperti alasan-alasan sebagai berikut : (1) karena istri mandul, dan keduanya mengharapkan keturunan ; (2) apabila suami memiliki kemampuan seks tinggi, sementara istri tidak mampu meladeni sesuai kebutuhannya ; (3) suami mempunyai harta yang banyak untuk membiyayai segala kepentingan keluarga mulai dari istri, sampai anak-anaknya ;(4) karena jumlah wanita lebih banyak dari pada jumlah kaum laki-laki. Dan didalam undang-undangpun no 1 tahun 1974 pasal 4 ayat 2 menekankan bahwa suami baru dizinkan melakukan poligami dalam keadaan : (1) isteri tidak dapat menjalannkan kewajiban sebagai istri ; (2) istri mengalami cacat badan atau menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (3) istri tidak bisa memperoleh keturunan. Akibat-akibat poligami : (1) menimbulkan kecemburuan antara istri ; (2) kekhawatiran istri kalau suami tidak bisa berlaku bijaksana dan adil ; (3) anak-anak dari berlainan ibu berkelahi ; (4) kekurangan ekonomi yang akan menimbulkan ketidak terpenuhinya apa yang dibutuhkan anak-anaknya. Kalau hal-hal negatif ini muncul maka dalam sebuah keluarga tidak lain dari kekacauan dan kedisharmonisan. Dari teks di atas dapat kita simpulkan bahwa hukum poligami diperbolehkan asalkan memenuhi syarat-syaratnya. Daftarpustaka KamusKBBI offline Drs. NasutionKhoiruddin, RIBA & POLIGAMI, (Yogyakarta : Academia, 1996, hlm. 30-50.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Al-Maraghi

Amar dan Nahi Dalam al-Qur'an

Jarh wa Ta’dil