Jarh wa Ta’dil
A. Ta’rif
Jarh wa Ta’dil
Lafadz “Jarh”, dalam kamus bahasa Arab
berarti mencelaatau menyakiti,[1] menurut
muhadditsin, ialah sifat seorang rawi yang dapat mencacatkan keadilan dan
kehafalannya. Men-Jarh atau mentarjih seorang rawi berarti mensifati seorang
rawi dengan sifat-sifat yang dapat menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang
diriwayatkannya.[2]
Adapun lafad “Ta’di”l dalam kamus bahasa Arab
berarti meluruskan.[3] Rawi
yang dikatakan ‘adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang
dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji
kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannyadapat diterima disebut
menta’dilkan.
Ilmu pengetahuan yang membahas tentang
memberikan kritikan adanya ‘aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi
disebut dengan “Ilmu Jarh watta’dil”.
Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib menta’rifkannya sebagai
berikut:
هو
العلم الذى يبحث في احوال الرواة من حيث قبول روايتهم اوردها
“ialah suatu
ilmu yang membahas hal-ihwal para rawy dari segi diterima atau ditolaknaya
periwayatannya”.
B.
Cara
mengetahui kejarhan dan keta’dilan rawy
1.
Jarh
Cara mengetahui Jarhnya seorang rawi maka kita
meliahat ketenaran sifat-sifat ke’aiban seorang rawy yang diutarakan oleh
sipenjarh. Pada umumnya makan-macam keaiban seorang rowi terdapat lima, yaitu:[4]
a.
Bid’ah
(melakukan tindakan tercela, diluar ketentuan syari’at)
b.
Mukhalafah
(melaini dengan periwatan orang yang lebih tsiqah)
c.
Ghalath
(banyak kekeliuran dalam meriwayatkan)
d.
Jahalatu’i-Hal
(tidak dikenal identitasnya)
e.
Da’wa’
il-Inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung)
2.
Ta’dil
Menta’dilkan yakni memuji sifat-sifat rawy yang
nantinya dijadikan dasar penerimaan riwayat. Keadilan seorang rawy itu dapat diketahui dengan
salah satu dari ketetapan berikut:
a.
Dengan
kepopulerannya dikalangan para ahli ilmu bahwa dia dikenal sebagai orang yang
adil. Seperti dikenalnya sebagai orang yang adil dikalangan para ahli ilmu bagi
Anas bin Malik, Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah bin Al-Hajjaj. Asy-Syafi’iy, Ahmad
dan sebagainya. Oleh karena mereka sudah terkenal sebagai orang yang adil
dikalangan para ahli ilmu, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan tentangkeadilannya.
b.
Dengan pujian
dari seorang yang adil. Yaitu ditetapkan sebagai rowy yang adil oleh orang yang
adil, yang semula rawy yang dita’dilkan itu belum dikenal sebagai rawy yang
adil.
C.
Ruang
lingkup masalah dalam penjarhan dan penta’dilan rawy
1.
Masalah
penjarhan dan penta’dilan seseorang tanpa menyebutkan sebab-sebabnya
Sebagaimana kita ketahui, bahwa menta’dilkan
atau mentarjihkan seorang rawy itu ada kalanya mubham (tidak disebutkan
sebab-sebabnya) dan adakalanya mufassar (disebutkan sebab-sebabnya). Untuk
mubham ini diperselisihkan oleh para ulama’, dalam beberapa pendapat:[5]
a.
Menta’dilkan
tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, diterima. Karena sebab itu banyak sekali,
sehingga hal itu kalau desebutkan semua
tentu menyibukkan kerja saja. Adapun mentarjihkan, tidak diterima, kalau
tanpa menyebutkan sebab-sebabanya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu
sebab saja. Dan oleh karena orang-orang itu berlain-lainan dalam mengemukakan
sebab jarh, hingga tidak mustahil seseorang mentarjih menurut keyakinannya,
tetapi tidak tepat dalam kenyataannya. Jadi agar jelas apakah ia tercacat atau
tidak, perlu diterangkan sebab-sebabnya.
b.
Untuk ta’dil
harus disebutkan sebab-sebabnya, tetapi menjarhkan tidak perlu. Karena sebab-sebab
menta’dilkan itu, bisa dibuat-buat, hingga harus diterangkan, sedang
mentarjihkan tidak.
c.
Untuk
kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
d.
Untuk
kedua-duanya tidak perlu disebutkan sebab-sebabnya. Sebab, si jarh dan mu’addil
sudah mengenal seteliti-telitinya sebab-sebab tersebut.
Pendapat yang pertama adalah pendapat yang
dianut oleh kebanyakan para muhaddisin, semisal Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan
lain-lain.
2.
Masalah
jumlah orang yangdipandang cukup untuk menta’dilkan dan mentarjihkan rawy-rawy
Dalam masalah ini juga diperselisihkan:[6]
a. Minimal dua orang, baik dalam soal syahadah maupun
dalam soal riwayat. Dan demikian pendapat kebanyakan fuqaha madinah dan
lainnya.
b. Cukup seorang
saja dalam soal riwayat bukan dalam soal syahadah. Sebab oleh karena
bilangan itu tidak menjadi syarat dalam penerimaan hadis, maka tidak pula
disyaratkan dalam menta’dilkan dan mentarjihkan rawy-rawy. Berlainan dalam soal
syahadah.
c.
Cukup satu
orang saja, baik dalam soal riwayat maupun dalam soal syahadah.
Adapun
kalau ke’adalahannya itu diperoleh atas dasar pujian orang banyak atau
dimasyhurkan oleh ahli-ahli ilmu, maka tidak memerlukan orang yang menta’dilkan.
3.
Masalah
perlawanan antara jarh dan ta’dil
Apabila terdapat ta’arud antara jarh wa ta’dil
pada seorang rawy, yakni sebagai ulama’ menta’dilkan sebagian ulama’ yang lain
mentarjihkan, dalam hal ini terdapat 4 penadapat:[7]
a.
Jarah harus
didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah mu’addilnya lebih banyak daripada
jarhnya. Sebab bagi jarih, tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui
oleh mu’addil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’addil tentang apa yang
diberitakan menurut lahirnya saja, sedang jarih memberitakan urusan batiniyyah
yang tidak diketahui oleh si mu’addil.
b.
Ta’dil harus
didahulukan daripada jarh, karena si jarih dalam mengaibkan si rawy kurang
tepat, dikarenakan sebab yang digunakan untuk mengaibkan itu bukan sebab yang
dapat mencacatkan yang seharusnya, apalagi kalau dipengaruhi rasa benci. Sedang
mu’addil, sudah barang tentu tidak serampangan menta’dilkan seorang selama
tidak mempunyai alasan yang tepat dan logis.
c.
Jika mu’addilnya
lebih banyak daripada jarihnya, didahulukan ta’dil. Sebab jumlah yang banyak
itu dapat memperkuat kedudukan mereka dan mengharuskan untuk mengamalkan
khabar-khabar mereka.
d.
Masih tetap
dalam keta’arrudan nya selama belum menemukan yang merajihkannya. Pengarang
at-Taqrib mengemukakan sebab timbulnya khilaf ini , ialah jika jumlah
mu’addilnya lebih banyak, tetapi kalau jumlahnya seimbang antar mu’adddil dan
jarnya, maka mendahulukan jarah itu sudah merupakan putusan ijma’.
D.
Lafadz-lafadz
dalam penjarhan dan penta’dilan rawy
Lafad-lafad yang digunakan untuk menta’dilkan
dan mentarjihkan rawy itu bertingkat-tingkat. Menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu As-Salah dan Imam An-Nawawy, lafad-lafad itu disusun
menjadi empat tingkatan. Menurut Al-Hafid Ad-Dahaby dan Al-‘Iraqy menjadi lima
tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi
enam tingkatan, yaitu:[8]
Tingkatan dan lafad-lafad untuk menta’dilkan
rawy:
Pertama: segala
sesuatu yang mengandung kelebihan rawy dalam
keadilan dangan menggnakan
lafad-lafad yangberbentuk af’alul tafdil atau ungkapan lain yang mengandung pengertian
yang sejenis con:
أوثق الناس (orang yang paling
tsiqah)
أثبت الناس
حفظا وعدالة (orang yang paling mantap hafalan dan
keadilannya)
إليه
المنتهى فى الثبت (orang yang paling top keteguahan hati dan
lidahnya)
ثقة فوق
الثقة (orang yang tsiqah melebihi orang yang
tsiqah)
Kedua: memperkuat ketsikahannya rawy dengan membubuhi satu sifat dari
sifat-sifat yang menunjuk kepada keadilan dan klabitannya, baik sifatnya yang
dibubuhkan itu selafad (dengan mengulangnya) maupun semakna. Cont:
ثبت ثبت (orang yang teguh
lagi teguh)
ثقة ثقة (orang yang tsiqah
lagi tsiqah)
ثبت ثقة (orang yang teguh
lagi tsiqah)
حجة حجة (orang yang ahli lagi
petah lidahnya)
حافظا حجة (orang yang hafid
lagi petah lidahnya)
Ketiga: menunjuk keadilan dengan suatu lafad yang mengandung arti kuat ingatan. Cont:
ثبت (orang yang teguh)
متفق(orang yang meyakinkan)
حجة (orang yang petah
lidahnya)
حافظا (orangyang hafid)
ثقة (orang yang tsiqah)
Keempat: menunjuk keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafad yang tidak mengandung
arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Cont:
صدوق (orang yang sangat
jujur )
مأمون (orang yang memegang
amanat)
لا بأس به (orang yang tidak
cacat)
Kelima: menunjukkan kejujuran rawy, tetapi tidak terpaham adanya kedlabitan.
Cont:
محله الصدق (orangyang berstatus
jujur)
جيد الحديث (orang yang baik
hadisnya)
حسن الحديث (orang yang bagus
hadisnya)
Keenam: mununjukkan arti mendekati cacat.
Seperti sifat-sifat tersebut di atas yang diikuti dengan lafad “insyaAllah”,
atau lafad tersebut di tashghirkan (pengecilan arti), atau lafad itu dikaitkan
dengan suatu pengharapan. Con:
صدوق إن
شاْء الله (jujur insyaAllah)
فلان صويلح (yang diharpkan
tsiqah)
Tingkatan dan lafad-lafad untuk mentarjih rawy :
Pertama: menunjuk kepada keterlaluan si rawy tentang cacatnya dengan menggunakan
lafad-lafad af’alul tafdil atau ungkapan lain yang mengandung sejenisnya. Con:
أوضع
الناس (paling dusta)
اكذب
الناس (paling bohong)
إليه
المنتهى فالوضع (paling top kebohongannya)
Kedua: menunjuk kesangatan cacat dengan menggunakan
lafad berbentuk shighat munaligah: cont:
كذاب (pembohong)
وضاع (pendusta)
دجال (penipu)
Ketiga: menunjuk kepada tuduhan dusta, bohong
atau lain sebagainya. Cont:
فلان متهم بالكذب (dituduh bohong)
او متهم بالوضع (dituduh dusta)
فلان ساقط (yang gugur)
فلان ذاهب الحديث (hadisnya telah hilang)
Keempat: menunjuk kepada berkesangatan
lemahnya. Cont:
مطرح الحديث (yangdilempar
hadisnya)
فلان ضعيف (yang lemah)
فلان مدود الحديث (yang ditolak
hadisnya)
Kelima: menunjuk kepada kelemahan dan
kekacauan rawy mengenai hafalannya. Cont:
فلان لايحتج به (yang tidak dapat
dibuat hujjah hadisnya)
فلان مجهول (orang yang tidak
dikenal identitasnya)
فلان واه (yang mungkar
hadisnya)
Keenam: mensifati rawy dengan sifat-sifat yang menunjuk
kelemahan-kelemahannya, tetapi sifat itu berdekatan dengan adil. Cont:
ضعف حديثه (yang didla’ifkan
hadisnya)
فلان لين (yang lunak)
فلان فيه خلق (yang disingkiri)
Orang-orang yang
ditarjih menurut tingkatan pertama sampai dengan tingkatan keempat, hadisnya
tidaj dapat dibuat hukkah sama sekali. Adapaun orang-orang yang ditarjih
menurut tingkatan kelima dan keenam,
hadisnya dapat dipakai sebagai i’tibar (tempat membandinkan.
Perlu diketahui
bahwa masalah yang berkaitan dengan jarh dan ta’dil ini bahwa para sahabat
tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. Sebab sudah disepakati oleh
kebanyakan para muhaddisin bahwa sahabat itu seluruhnya dipandang adil, karena
itu semua periwayatannya dapat diterima.
E.
Faidah
dan Syarat dalam penjarhan dan penta’dilan rawy
1.
Faidah
Ilmu Jarh wa Ta’dil[9]
Faidah mengetahui
ilmu Jarh wa Ta’dil itu ialah untu menetapkan apakh periwayatan seorang
rawy itu dapat diterima atau harus
ditolak sama sekali. Apakah seorang rawy dijarh oleh para ahli sebagai rawy yang
cacat, maka periwayatannya harus ditolak dan apa bila seorang rawy dipuji sebagai
orang yang adil, niscahaya periwayatannya diterima, selama syarat-syarat yang
lain untuk menerima hadis dipenuhi.
2.
Syarat-syarat
bagi orang yang menta’dilkan dan mentarjihkan[10]
a.
Berilmu pengetahuan
b.
Taqwa
c.
Wara’ (orang
yang selalu menjauhi perbuatan ma’siat, syubhat, dosa-dosa kecil dan
makruhat-makruhat).
d.
Jujur
e.
Menjauhi
Fanatik golongan
f.
Mengetahui
sebabsebab untuk menta’dilkan dan untuk mentarjihkan.
F.
Kitab-kitab
Jarh wa Ta’dil[11]
Para ulama hadis
sejak masa lalu klasik hingga abad tengah telah meyusun kitab-itab rijalul
hadis dan sejarahnya denga berbagai versinya. Penyusunan kitab-kitab rijalul
hadis tersebut dilakukan dengan cara mengkaji nama-nama perawi, membicarakan
kehidupannya dari berbagai segi secara terperinci, termasuk juga hal-hal yang
menyangkut penilaian tsiqoh (tautsiq) dan cacat (tajrih) seorang perawi.
Keseriusan dan
kesungguhan para ulama hadis dalam menyeleksi dan mengkualifikasi para rawi
yang bernilai positif dan bernilai negatiflah yang kemudian melahirkan berbagai
kitab al-jarh wa at-ta’dil, dan dikelompokkkan sebagai berikut:
1.
Berdasar
Thabaqat
Kitab
thabaqhat merupakan kitab ynag secara spesifik memuat para rawi yang memiliki
kesamaan dalam setiap tingkatannya. Diantara kitab-kitab thabaqat yang ada, ada
yang berisi secara umum, seperti ath- thabaqat al-kubradan adapula tentang
perawi secaara khusus, seperti thabaqat Al-Huhuffadh Karya Adz-Zahabi, thabaqat
al-qurra’ karya abu ‘Amr ad-dani, Thabaqat asy-syafi’iayah karya as-subki.
2.
Berdasatkan
rawi secara umum
Kitab-kitab
rawi secara umum bermaterikan rawi-rawi dalam kitab hadis manapundan rawi-rawi
yang beraam kualitasnya, baik yang tsiqoh, dhoif, maupun yang lainnya, diantara
kitab-kitab yang masyhur adalah, kitab at-Tarikh al-kabir, kitab al-Jarh wa
at-ta’dil.
3.
Berdasar rawi
dalam kitab hadis tertentu
Secara
spesifik kitab hadis ini hanya memuat nama-nama perawi hadis dalam kitabkitab
tertentu secara ringkas, sehingga para pengkaji hadis dapat mudah mengethui
perawi yang dikehendaki di antara beberpa kitab rawi tertentu adalah:
a. al-Hidayah wa al-irsyad fi ma’rifah ahli tsiqoh wa
saddad
b. rijalu shahihi muslim
c. al-jam’u baina rijal ash-shahihaini
d. at-ta’rif bi ar-rijal al-muwaththa’
e. al-kamal fi asma’ ar-rijal
f. tahdzib al-kamal
g. ikmalu tahdzib al-kamal
h. tadzhib ath-tahdzib
i.
al-kasyif
j.
taqrib
ath-tahdzib
k. tahdzib at-tahdzib, dan lain-lain.
4.
Berdasarkan
kualitas rawi
a.
Rawi-rawi
tsiqoh
Kitab
ini secara spesifik memberi kemudahan kepada para pengkaji hadis untuk mencari
rawi-rawi yang tsiqoh, anatar lain kitabnya adalah, kitab ats-siqot karya Abu
Al-Hasan Ahmad Bin Abdullah Bin Shalih Al-‘Ijli, kitab ats-Siqot karya Muhammad
bin Ahmad bin Hibban al- Busti.
b.
Rawi-rawi
dhaif
1.
Adl-dhuafa’
karya al-Bukhari
2.
Adl-dhu’afa’
karya ash-shaghir katya al-Bukhari
3.
Ma’rifah
al-Majruhin min al-Mudaditsin
4.
Lisan
al-Mizan dan lain sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A.
Datar
Pustaka
Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.
Bandung: Al-Ma’arif, 1981.
Munawwir Warson Ahmad, Kamus Al-Munawwir
Arar-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif; 1997.
Mahmud Tahan, Taisir Musthalahul Hadis, Bairut:
Dar Al-Fikr.
Fatih Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalul Hadis,
Th-Press: Yogyakarta, 2012.
[1] Munawwir Warson Ahmad, Kamus Al-Munawwir Arar-Indonesia,(
Surabaya: Pustaka Progresif; 1997) hal.180.
[2] Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.( Bandung:
Al-Ma’arif, 1981),hal 268.
[3] Munawwir Warson Ahmad, Kamus Al-Munawwir Arar-Indonesia,(
Surabaya: Pustaka Progresif; 1997) hal.906.
[4] Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.( Bandung:
Al-Ma’arif, 1981),hal 269.
[5] Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.( Bandung:
Al-Ma’arif, 1981),hal 271.
[6] Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.( Bandung:
Al-Ma’arif, 1981),hal 272.
[7]Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.( Bandung:
Al-Ma’arif, 1981),hal 272-273.
[8]Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.( Bandung:
Al-Ma’arif, 1981),hal 273-278.
[9]Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.( Bandung:
Al-Ma’arif, 1981),hal 268.
[10]Fatchur Rahman, Ihtisar Mustalahul Hadis, Cet.7.( Bandung:
Al-Ma’arif, 1981),hal 271.
[11]Dr. Suryadi, Metodologi Ilmu Rijalul Hadis, (Th-Press:
Yogyakarta, 2012), Hlm. 54-64
Harrah's Cherokee Casinos - MapYRO
BalasHapusHarrah's 익산 출장안마 Cherokee Casino locations, rates, amenities: expert 고양 출장샵 Cherokee research, 이천 출장샵 only at Hotel and 파주 출장샵 Travel Index. Realtime driving directions to Harrah's 고양 출장샵 Cherokee Casino