Amar dan Nahi Dalam al-Qur'an

 Amar dan Nahi
1.      Pengertian Amar
Lafaz Amar secara bahasa الامر yang berarti perintah atau suruhan. Amar adalah kebalikan dari Nahi yaitu yang berarti larangan. Sedangkan secara istilah, para ulama banyak yang mendefinisikan Amar tersebut diantaranya:
Amar adalah suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang  tidak boleh ditolak.[1]

Amar adalah suatu lafaz yang digunakan oleh seorang atasan meminta untuk melakukan suatu pekerjaan kepada bawahannya.[2]

Amar adalah suatu lafaz yang digunakan oleh seorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan, dan oang menyuruh itu lebih tinggi kedudukannya daripada orang yang disuruhnya.[3]
Berdasarkan beberapa definisi amar tersebut dapat kita simpulkan adalah lafaz amar yaitu suatu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah untuk meminta bawahannya mengerjakan suatu pekerjaan yang harus dikerjakannya.
2.      Pengertian Nahi
       Lafaz nahi secara bahasa adalah النهي yang berarti larangan.[4] Sedangkan menurut istilah para ulama mendefinisikan nahi sebagai berikut:
Nahi adalah tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya.[5]

Nahi adalah suatu lafaz yang digunakan untuk meninggalkan suatu perbuatan.[6]
                                                                                            
Nahi adalah suatu lafaz yang digunakan oleh seseorang yang tinggi tingkatannya kepada yang rendah tingkatannya untuk meninggalkan suatu pekerjaan.[7]
Jadi, Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu perbuatan. Nahi yaitu larangan, meninggalkan suatu perbuatan yang dilarang untuk melakukannya.
B.     Bentuk-bentuk Amar dan Nahi

1.      Bentuk-Bentuk Lafaz Amar
          Lafaz yang menunjukkan kepada amar atau perintah tersebut mempunyai beberapa bentuk diantaranya:
a.       Fiil Amar, seperti[8]:
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً -٤
Artinya:”Dan berikanlah mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan (Q.S.An-Nisa’:4)
b.      Fiil Mudhari’ yang diawali oleh لام الامر seperti:
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ -١٠٤
Artinya:”Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan (Q.S.Ali Imran:104)
c.       Masdar pengganti Fi’il, seperti:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً -٨٣
Artinya:”Dan berbuat baiklah kepada ibu bapak (Q.S.Al-Baqarah:83)
d.      Lafaz yang mengandung makna perintah seperti, امر, كتب, فرض dan sebagainya, contohnya[9]:
-Menggunakan lafaz faradha:
قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ لِكَيْلَا يَكُونَ عَلَيْكَ حَرَجٌ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً -٥٠
Artinya:”Sungguh kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka (Q.S.Al-Ahzab:50)
-Menggunakan lafaz kutiba:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ -١٨٣
Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa (Q.S.Al-Baqarah:183)
-Menggunakan lafaz amara:
إنَّ اللّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤدُّواْ الأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا -٥٨
Artinya: “Sesungguhnya Allah memerntahkanmu untuk menyampaikan amanah (Q.S.An-Nisa’:58)

2.      Bentuk-Bentuk Lafaz Nahi                                                
       Ungkapan yang menunjukkan kepada lafaz Nahi itu ada beberapa bentuk yaitu:
a.       Fiil Mudhari’ yang disertai dengan La Nahiyah,seperti:
لاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ -١١
b.      Lafaz-lafaz yang memberikan pengertian haram atau perintah untuk meninggalkan sesuatu perbuatan, seperti:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا -٢٧٥
           


3.      Kaidah Amar dan Nahi

1.      AMR adalah permintaan melakukan suatu pekerjaan dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya. Dalam AMR terdapat beberapa kaidah yaitu  :
       I.            الأصل فى الامر للوجوب الا ما دلّ الدليل على خلافه
“Asal dalam perintah itu hukumnya wajib kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang perbedaannya”   seperti firman Allah Swt :
واقيموا الصلاة واتوا الزكاة
" Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat !" (QS. an-Nisa : 77) 

         II.            الأصل فى الأمر لا يقتضى التكرار الا ما دلّ الدليل على خلافه

“Asal dalam perintah itu tidak mesti diulangi kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang perbedaannya”   seperti firman Allah Swt :
واتموا الحج والعمرة لله ج
" Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah Karena Allah. "  (QS. al-Baqarah : 196) 

      III.            الاصل فى الامر لا يقتضى الفور. لان الغرض منه ايجاد الفعل من غير اختصاص بالزمن الاول دون الزمن الثاني
“Asal dalam perintah itu tidak mesti spontan” karena sesungguhnya tujuan yang diminta adalah melaksanakan perintah dengan tidak menentukan waktu pelaksanaannya pada masa awal bukan pada masa kedua.

      IV.            الامر بالشيء امر بوسائله
 “Memerintah sesuatu berarti juga memerintah melaksanakan wasilah (perantara) nya,”   
Misalnya : perintah melaksanakan sholat juga berarti perintah untuk bersuci sebelum sholat, karena sholat tidak sah jika tidak bersuci. 

         V.            الامر بالشيء نهي عن ضده
“Memerintah sesuatu berarti juga melarang yang berlawanan dengan sesuatu itu”  
seperti firman Allah Swt :
و قولوا للناس حسنا

"Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia," (QS. Al-Baqarah : 83) 
Perintah untuk mengucapkan kata-kata yang baik kepada manusia berarti larangan untuk  mengucapkan kata-kata yang tidak baik. 

      VI.            اذا فُعِل المأمور به على وجهه يخرج المأمور عن عهدة الامر. فاذا عدم الشخص الماء فتيمم فصلي خرج عن عهدة الامر. فلا قضاء عليه اذا وجد الماء
“Jika apa yang diperintahkan telah dilakukan, maka orang yang diperintah telah keluar dari tanggungan perintah itu.”  
Misalnya : jika seseorang dengan tidak adanya air ia bertayammum dan melaksanakan sholat, maka tidak mesti melakukan qadha sholat jika ia telah menemukan air. 
   VII.            القضاء بامر جديد
“ Pelaksanaan atas perintah / perkara baru” Seperti hadis A’isyah RA :
“Kami diperintahkan untuk mengganti puasa dan tidak diperintahkan untuk mengganti sholat (HR. Bukhori).”

VIII.            الامر المتعلق على الإسم يقتضى الإقتصار على أوله
Contohnya seperti perintah rukuk dengan Thuma’ninah

      IX.            الأمر بعد النهي يفيد الإباحة
Contohnya seperti larangan nabi menziarahi kubur / makam

2.      NAHY adalah permintaan meninggalkan pekerjaan dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya. Dalam NAHY terdapat beberapa kaidah yaitu  : 

            I.            الاصل فى النهي للتحريم الا ما دل الدليل علي خلافه قال تعالى
“Asal dalam larangan itu hukumnya haram kecuali terdapat dalil yang menjelaskan tentang perbedaannya”   Seperti firman Allah Swt :
ولا تفسدوا فى الارض بعد اصلاحه
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya." (QS. Al-A'raaf : 56).
 
         II.            النهي عن الشيء امربضده
“Melarang sesuatu berarti juga memerintah yang berlawanan dengan sesuatu itu”   Seperti firman Allah Swt :
ولا تاكلوا اموالكم بينكم بالباطل
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil." (QS. Al-Baqarah : 188).

      III.            الاصل في النهي يدل على فساد المنهي عنه فى العبادة.
“Asal dalam larangan itu menunjukkan pada kerusakan perkara yang dilarangnya dalam beribadah.”  
كصلاة الحائض وصومها
Seperti sholat dan berpuasanyanya orang yang sedang haidh.  

      IV.            النهي يدل على فساد المنهي عنه فى المعاملات اِنْ رجع النهي الي نفس العقد كما فى بيع الحصاة.

Larangan itu menunjukkan pada kerusakan perkara yang dilarangnya dalam bermu’amalah jika larangan itu merujuk pada dzatnya akad.”  
نهي صلي الله عليه وسلم عن بيع الحصاة رواه مسلم.
seperti dilarangnya jual beli kerikil. Sebagaimana sabda Nabi Saw. “Nabi Saw telah melarang Melakukan jual beli kerikil.” (HR. Muslim)  5.    "

         V.            ان رجع الى امر خارج عن العقد غير لازم فلا. كما فى البيع وقت نداء الجمعة
Jika larangan itu merujuk pada perkara yang keluar dari bentuk akad yang tidak lazim maka tidaklah menjadi batal Seperti pada bentuk jual beli di saat adzan sholat Jum’at, firman Allah Swt :
إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله وذروا البيع ج
"Apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli." (QS. Al-Jumu'ah : 9(
Hal itu karena akan mengganggu dalam usaha melakukan kewajiban sholat Jum’at,  dan gangguan itu ada ketika terjadi proses jual beli dan lainnya termasuk juga jika makan.

Analisis

Amar dan nahi memiliki banyak ragam dengan cirinya masing-masing. Sehingga di dalam penerapannya dibutuhkan korelasi ayat yang sesuai antara satu dengan yang lainnya. Baik amar maupun nahi juga dipengaruhi latar belakang historis tersendiri yang terjadi saat itu seperti larangan mengunjungi kuburan atau menziarahi kubur pada saat itu nabi melarangnya namun pada akhirnya timbul perintah untuk menziarahi kuburan karena melihat di dalamnya terdapat manfaat berupa mengingat kematian. Perintah atau larangan adalah pokok ajaran di sebuah agama dalam hal ini islam sebagaimana arti dari pada taqwa dalam islam adalah imtitsalul awamil wa ijtinabu an nawahi yaitu melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya.




BAB III
PENUTUP
I.                   Kesimpulan

Hakikat pengertian amr (perintah) adalah lafaz yang dikehendaki supaya orang mengerjakan apa yang dimaksudkan. Bentuk lafaz amar bermacam-macam diantaranya, fiil amar, fiil mudhari’ yang diawali lam amar, masdar pengganti fiil, dan beberapa lafaz yang mengandung makna perintah seperti, kutiba, amara, faradha. Kaidah-kaidah amar dalam Al-Qur’an yaitu seperti kaidah pertama seperti pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukkan kepada wajib dan tidak menunjukkan kepada selain wajib kecuali dengan qarinah-qarinah tersebut. Qarinah-qarinah tersebut seperti ibahah, nadb, irsyad, tahdid, ta’jiz yang memalingkan makna asalnya yaitu wajib.
        Kaidah kedua amar adalah Amr atau perintah terhadap sesuatu berarti larangan akan kebalikannya. Kaidah ketiga amar yaitu perintah itu menghendaki segera dilaksanakan kecuali ada qarinah-qarinah tertentu yang menyatakan jika suatu perbuatan tersebut tidak segera dilaksanakan. Kaidah keempat adalah Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki pengulangan ( berkali-kali mengerjakan perintah), kecuali adanya qarinah atau kalimat yang menunjukkan kepada pengulangan. Para ulama mengelompokkan  menjadi 3 perintah tersebut dikaitkan dengan syarat, perintah dikaitkan dengan illat, perintah dikaitkan dengan sifat atau keadaan yang bersifat illat.
         Sedangkan Nahi adalah suatu lafaz yang mengandung makna tuntutan meninggalkan sesuatu yang datangnya dari orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya. Bentuknya yaitu fiil yang didahului oleh la nahiyah, beberapa lafaz yang mengandung makna nahi. Kaidah nahi yaitu pada dasarnya larangan itu menunjukkan kepada haram kecuali ada qarinah-qarinah tertentu. Pada dasarnya larangan itu menghendaki fasad ( rusak) secara mutlak. Pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan larangan dalam setiap waktu. Bagi para mufassir sangat penting untuk mengetahui kaidah-kaidah tersebut karena memudahkan dalam menafsirkan Al-Quran terutama ayat-ayat yang berhubungan dengan penggalian suatu hukum.




II. Daftar Pustaka
Ridwan,dkk, Fiqih Modul Hikmah, Sragen:Akik Pusaka, 2008
Khalid Sabt, Qawaid Tafsir Jilid 2 Waraqa Maqwa, 1421
Departemen Agama RI, Ushul Fiqh Jakarta:Depag RI
Abdul Wahab Khalaf,Ilmu Ushul Fiqh Bandung:Gema Insani Risalah Press,1997
Hakim, Abdul Hamid, as sulam juz tsani, Jakarta; Maktabah Sa’diyah Putra
Terjemah Mabadi Awwaliyah pdf



[1] Ridwan,dkk, Fiqih Modul Hikmah (Sragen:Akik Pusaka,2008), h.16.
[2] Khalid Sabt, Qawaid Tafsir Jilid 2 (Waraqa Maqwa,1421), h.478.
[3] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh (Jakarta:Depag RI) , h.1.
[4] Abdul Wahab Khalaf,Ilmu Ushul Fiqh (Bandung:Gema Insani Risalah Press,1997), h.199.
[5] Ridwan, Modul Fiqh, h.28
[6] Departemen Agama, Ushul Fiqh, h.6
[7] Sabt, Qawaid Tafsir Jilid 2, h.508.
[8] Departemen Agama RI, Ushul Fiqh (Jakarta:Depag RI) , h.2.
[9] Ridwan, Modul Fiqh, h.17.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Al-Maraghi

Jarh wa Ta’dil