konsep ‘Adalah Sahabat (Keadilan Sahabat)

1.        Pengertian ‘Adalah Sahabat dalam prespektif Ahlusunnah .
  1. Makna Ash-Shahabah (sahabat) Menurut Istilah Syara’
            Ibnu kajar Al – Asqalani Asy- Syafi’i berkata, “Ash-Shabi (sahabat) adalah orang yang bertemu dengan  Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam, beriman kepada beliau, dan meninggal dalam keadaan islam”.
Penjelasan Ibnu Hajar atas definisi di atas:
1.      Yang termasuk sahabat adalah orang yang sempat bertemu dengan Rasullulah, baik sempat menerimanya dengan lama,  maupun sebentar.
2.      Orang yang meriwayatkan hadis dari beliau, ataupun orang yang tidak meriwayatkan.
3.      Orang yang ikut berperang dengannya, ataupun orang yang tidak ikut serta berperang dengan beliau.
4.      Orang yang sempat melihat, meskipun tidak pernah duduk menemani beliau.
5.      Orang yang tidak pernah melihatnya karena dan sebab tertentu, seperti buta.
Pendapat yang dibuat diatas berdasarkan pendapat yang paling shahih menurut para muhaqiq seperti Bukhari dan Ahmad Bin Hambal. Melihat dari pendapat yang dibuat Ibnu Hajar Al Ashqalani, maka orang yang tepat untuk dikatakan sahabat adalah:
1.      Bertemu dengan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alahi Salam, baik yang bertemu melalui suatu majelis, obrolan atau hanya sekedar melihatnya saja. Siapa saja yang melihat Rasulullah atau Rasullullah melihatnya, maka orang tersebut dikatkan sebagai sahabat, meskipun ia adalah seorang anak kecil, karena kata “melihat” tidak dinisbatkan kepadanya, akan tetapi dinisbatkan kepada Rasullulah sendiri.
2.      Beriman kepada Muhammad dan mengakui bahwasannya beliau adalah seorang Nabi. Jika kita mengambil pendapat Ibnu Hajar, maka kita harus benar-benar memastikan tentang hakikat keimanan seseorang terhadap Rasullullah. Akan tetapi, hal ini adalah berada di luar jangkauan kemampuan manusia.

Golongan-golongan Islam yang sepakat dengan ahlusunnah akan makna dan istilah shahabah, akan tetapi mereka berbeda pendapat tenntang sifat adil seseorang sahabat. Orang-orang ahlusunnah memandang bahwa seluruh sahabat adalah orang-orang yang adil, tanpa terkecuali. Akan tetapi, golongan-golongan Islam yang lain  mengatakan bahwa sifat adil itu mempunyai syarat-syarat syar’i dan sifat-sifat tertentu, siapa saja yang pada dirinya terdapat syarat-syarat dan sifat-sifat tersebut, maka ia dapat disebut sebagai orang yang adil.[1]

B.     Beberapa definisi tentang Keadilan Sahabat

Keadilan adalah arti kata dari ‘adalah yang merupakan bentuk masdar  dari kata ‘adlun yang berarti adil atau keadilan. Sedangkan dalam Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, ‘adlun (adil) berarti keadaan yang seimbang, yaitu seimbang dalam perbuatan yang dilandaskan dengan kesadaran, lahir dari akal (rasio) bukan dari nafsu. Keadilan lebih banyak dirasakan daripada dipahami secara rasional. Karena keadilan adalah kebijakan yang paling esensial bagi kaum muslim, selalu berupaya mencari kesetaraan, baik bagi fitrah manusia maupun garis-garis tatanan wahyu di dunia akal dan nafsu.
            ‘adil sendiri lebih banyak tertuju pada sikap dan prilaku, bukan rasio. Dalam periwayatan hadis, ­‘adil  merupakan unsur utama bagi diterimanya seuah hadis sebelum dabit yang lebih tertuju pada rasio. Oleh karena itu, bila seseorang dikatakan dabit akan tetapi tidak ‘adil, maka hadisnya tidak akan diterima, dan sebaliknya, bila seorang periwayatan hadis diangggap ‘adil tapi tidak dabit, maka hadisnya masih bisa dipertimbangkan unutk diterima walaupun dengan beberapa catatan.
            Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, perkataan ‘adalah bila dikaitkan dengan ilmu hadis mempunyai konotasi suatu sikap tertentu atau sifat yang harus dimiliki, yang menjadi tolak ukur bagi seorang periwayat agar periwayatnya bisa diterima. Dengan demikian orang yang diakui keadilanya maka dideskripsikan sebagai orang yang dalam jiwanya tertanam sikap taqwa dan menjaga kehormatan dirinya, yang tercermin dalam sikap kejujurannya serta menjauhi perbuatan dosa besar dan kecil.[2]
            Dari pengertian ‘adil di atas, dapat disimpulkan bahwa kata ‘adil mempunyai arti dan maksud lebih dari satu, baik dari segi bahasa maupun istilah. Pada initnya, sifat ‘adil dalam periwayatan hadis mengacu kepada dua sifat mulia, yaitu bertaqwa dan maupun memelihara muru’ah. Pada dasarnya, sifat ini berlaku umum bagi periwayatan hadis, tidak terkecuali bagi sahabat Nabi, baik ketika ia menerima secara langsung sabda dari Nabi maupun diantara sesama sahabat. Oleh karena itu, sifat ‘adil ini menjadi sala satu syarat diterima dan tidaknya suatu periwayatan hadis.
            Kriteria-kriteria ‘adil, diantaranya:
1.      Beragama Islam
2.      Mukallaf
3.      Melaksanakan ketentuan agama
4.      Memelihara Muru’ah[3]

2.      Sejarah perkembangan konsep ‘Adalah Sahabat.
Sejarah perkembangan konsep keadilan sahabat telah mendapat pergeseran atau perkembangan dari masa dulu ke masa sekarang. Seperti halnya yang diucapkan oleh ‘Ajjaj al-Khatib sebagai berikut, perkataan ‘adalah bila dikaitkan dengan ilmu hadis mempunyai konotasi suatu sikap tertentu atau sifat yang harus dimilki, yang menjadi tolak ukur bagi seseorang periwayatan agar periwayatannya bisa diterima. Dengan demikian orang yang diakui keadilannya maka dideskripsikan sebagai orang yang dalam jiwanya tertanam sikap taqwa dan menjaga kerhormatan dirinya, yang tercermin dalam sikap kejujurannya serta menjauhi perbuatan dosa besar dan kecil.
Ulama klasik percaya bahwa para sahabat Nabi itu mempunyai keriteria dan ketaqwaan, maka mereka sudah tidak diraguakan lagi dan mereka pun bisa memelihara muru’ahnya, maka bagi para ulama hadis klasik, sudah tidak perlu diadakan penilaian terhadap kualitas para sahabat Nabi. Sehingga, walaupun para ulama hadis klasik telah mengunkan ilmu jarh wa ta’dil dalam penelitian hadis, tapi penilian hadis hanya unutk para rawi generasi setelah sahabat, dalam artian penilian itu terhenti ketika sampai pada sahabat. Sehingga, dari kriteria tersebut lahirlah sebuah dictum yang telah disepakati oleh para ulama hadis klasik bahwa semua sahabat itu adil.
Tapi yang menjadi pertanyaan di sini adalah, sahabat Nabi yang mana yang memang pantas atau bisa lolos dari penilian? Karena melihat adanya fitnah besar yakni perang yang terjadi di kalangan para sahabat. Seperti perang yang terjadi antara sahabat Ali dan Mu’awiyah maupun sahabat Ali dengan ‘Aisyah. Sehingga menimbulkan pertanyaan lagi, apakah ketika mereka berperang, muru’ah mereka tetap terjaga? Sehingga apakah nantinya kualitas keadilan mereka pun menimbulkan pertanyaan.
Kemudian, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Lahirlah para sarjana muslim kontemporer yang mempunyai kegelisahan terhadap ilmu hadis. Sehingga mereka mencoba untuk melakukan kajian ulang terhadap ilmu hadis, sala satunya ilmu rijal hadis yaitu yang berkenaan dengan keadilan sahabat. Seperti yang telah dibahas, bahwa konsep keadilan yang telah disepakati para ulama hadis itu terbagi pada empat keriteria. Tapi yang lebih ditekankan adalah pada aspek ketaqwaan para sahabat dan memelihara muru’ah.

Berangkat dari konsep keadilan itu sendiri yang telah disepakti oleh para ulama bahwa semua sahabat itu adil. Sehingga, tidak perlu adanya kajian ulang tentang penilian terhadpa sahabat. Maka berbeda dengan para ulama klasik, para sarjana kontemporer melakukan sebuah terobosan yang cukup berani, yaitu perlu adanya penilian ulang terhadap keadilan para sahabat, karena mengingat para sahabat Nabi itu adalah manusia biasa yang tidak akan luput dari salah. Selain itu, mengingat pernah terjadi perang anara sahabat dan penilian terhadap sahabat yang satu dengan yang lainnya.

Selain itu, karena adanya sahabat yang saling menilai atau mengkritisi terhadap sahabat yang lain yang terlebih dalam masalah periwayatan. Seperti hadis yang diriwayatakan Abu Hurairah tentanng keharusan berwudu’ setelah membawa jenazah yang ditolak oleh Ibnu ‘Abbas. Dengan melihat beberapa faktor tersebut maka muncul satu hal yang baru yang diusung oleh ulama kontemporer untuk mengadakan kajian ulang tentang keadilan sahabat. Sehingga telihat sekali adanya perkembangan konsep keadilan sahabat dikalangan para kritikus hadis.[4]

3.      Perdebatan seputar keadilan sahabat di kalangan sarjana muslim.
Para sarjana muslim, khususnya para ulama kontemporer berusaha melakukan penilian terhadap keadilan sahabat. Mereka berpendapat bahwa para sahabat Nabi pun manusia biasa yang tidak mungkin luput dari perbuatan salah. Sehingga para pengkaji hadis kontemporer berusaha untuk melakukan pengkajian ulang terhadap keadilan para sahabat Nabi.

          Sebagaimana yang telah dilakukan Ahmad Amin, dalam kitabnya fajr al-Islam yang mengkritisi hadis dalam dalam berbagai aspek, sala satunya mengenai keadilan sahabat. Menurutnya, tidak sedikit kritikus hadis yang menganggap semua sahabat ‘adil, sehinggga tidak ada keburukan apapaun dalam diri para sahabat, dan tidak ada yang menisbatkan kebohongan pada diri para sahabat. Hanya sedikit saja dari mereka para kritikus hadis yang memperlakukan para sahabat seperti para rawi lainnya. Dengan kata lain, Amin menjelaskan bahwa keadilan sahabat itu harus diuji kembali.
         
Abu Rayyah menjelaskan bahwa keadilan semua sahabat merupakan pembicaraan penuh perdebatan. Secara umum ia mengakui bahwa terdapat nash yang menyatakan bahwa sahabat itu adalah orang yang adil. Namun, menurutnya beberpa kelompok telah melampaui batas sampai mengggap bahwa semua sahabat itu adil tanpa perlu diadakan penelitian lagi dan keharuan menerima riwayat yang datang dari mereka tanpa keraguan, sedangkan orang-orang yang tetap memperlakukan sahabat layaknya perwai lain mendapatkan predikat fasik.
            Selanjutnya al-Maududi yang menolak bahwa semua sahabat adil dengan interpretasi semunya terbebas dari kesalahan dan setiap individu dari mereka tidak tersentuh kekurangan manusiawi sedikitpun. Tidak ada keraguan bahwa mayoritas sahabat adalah orang-orang yang memiliki tingkat keadilan yang tinggi. Akan tetapi kita tidak bisa mengingkari pula bahwa sebagaian dari mereka telah melakukan beberapa hal yang menyalahi sifat keadilan.[5]

4.      Antitesis apa yang diberikan oleh Ulama Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Qadariyah mengenai ‘Adalah Sahabat.
Kelompok Khawarij termasuk kelompok yang masih memakai hadis-hadis Nabi dan mempercayainya sebagai sumber hukum Islam. Namun mereka juga menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat, khususnya setelah periatiwa Tahkim. Sebagaimana yang dikatakan al-Siba’i, bahwa kaum Khawarij dengan kelompoknya yang berbeda-beda itusebelum terjadinya perang saudara antar sahabat mengganggap semua sahabat Nabi dapat dipercaya. Kemudia mereka mengkhaffirkan ‘Ali, Utsman, pengikut perang Jamal, dua orang utusan dalam Majelis Tahkim, pengikut perang Siffin. Mereka menolak hadis-hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang tersebut diatas, demikian juga pengikut mereka, karena menurut mereka para sahabat ini mengikuti pemimpin mereka.
Sebagian Syia’ah mendiskualifikasikan sahabat-sahabat Nabi kecuali ‘Ali dan pengikutnya, karena menurut mereka bahwa orang yang tidak mengangkat ‘Ali berarti telah mengkhianati wasiat Rasulullah Saw. dan keluar dari iman yang sah. Bahkan lebih jauuh mereka telah mengkafirkan kebanyakan sahabat. Menurut mereka persahabatan bukan merupakan jamina sifat  ‘Adil bagi mereka, oleh karena itulah kelompok Syi’ah menghalalkan kritik terhadap semua sahabat sebagaiman berlaku atas periwayatan yang lainnya. Menurut mereka di antara para sahabat ada yang munafik, fasik, murtad serta lari dalam medan peperangan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa semua sahabat itu ‘Adil, kecuali mereka yang telah memerangi ‘Ali, karena berarti mereka telah menentang perintah yang sah. Mereka yang telah memerangi ‘Ali adalah termasuk orang-orang yang fasik. Namun ada sebagian di antara mereka yang menganggap fasik semua sahabat,baik yang memerangi ‘Ali maupun yang membela ‘Ali, karena tiak jelas kelompok mana yang benar atau yang salah. Adapun kelompok Qodariyah mempunyai pendapat yang sama dengan kelompok Mu’tazilah yang terakhir, yaitu mereka menganggap fasik semua kelompok, baik dari yang memihak ‘Ali maupun yang memerangi ‘Ali.[6]
  1. Kritik terhadap pendapat Ahlusunnah
Melihat makna sahabat secara bahasa dan istilah, para pengikut Islam (golongan-golongan Islam) telah sepakat bahawa sahabat mencangkup orang-orang yang masuk Islam dan menampakkan keislamannya, juga orang-orang yang masuk sempat mendengar Rasullulah, duduk bersama beliau, atau  menyaksikan belau. Akan tetapi perbedaan diantara mereka terletak pada keumuman makna sahabat. Ahlusunnah berpandangan bahwa pengertian sahabat dengan makna yang luas berarti bahwa para sahabat semuanya adalah orang-orang yang adil. Akan tetapi, golongan Islam yang lain tidak mengakui dan tidak sependapatnya dengan ahlusunnah terhadap pendapat mereka yang menyatakan keumuman makna adil bagi semua sahabat.
Usaha untuk mempertemukan pendapat yang berbeda, jadi sangat tepat jika para sahabat dibagi menjadi 2 bagian besar:
1.      Sahabat-sahabat istimewa, mereka adalah orang-orang pilihan yang mana Daulah Islamiyah menjadi tegak karena jasa-jasa mereka yang selalu sabar terhadap bermacam-macam cercaan dan hinaan orang-orang kafir hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan. Mereka semua selalu berpegang teguh kepada Allah, dan menapakkan kesetiaan mereka terhadap Rasul-Nya dan terhadap orang yang ditunjuk oleh Rasullulah sebagai wali beliau hingga akhirnya mereka wafat dalam keadaan berpegang teguh kepada agama Allah. Mereka adalah orang-orang yang lurus secara ijma, tidak satupun dari golongan Islam yang menentang pendapat tersebut.
2.      Golongan sahabat yang kedua, adalah bermacam-macam, hanya Allah yang maha mengetahui. Di antara mereka adalah anak-anak dan kaum munafik. Kaum munafik ditempatkan oleh Allah dilapisan bawah neraka, meskipun mereka menampakan keislaman mereka, mereka tetap dinamakan sebagai sahabat menurut pendapat para Ahlusunnah.[7]


B.     Tingakat Para Sahabat
Secara logika, kenyataan dan syara’,  para sahabat tidaklah berada dalam satu derajat yang sama. Di antara mereka ada yang termasuk dalam golongan orang-orang yang Shadiq, akan tetapi tingkat ke-shadiq-an mereka pun masih beragama. Begitu pula di antara mereka ada yang termasuk golongan orang-orang yang kuat, lemah dan munafik, akan tetapi tingkat kekuatan, kelemahan, dan kemunafikan mereka berbeda-beda satu sama lain. Meskipun orang-orang ahlusunnah telah sepakat bahawa seluruh sahabat adalah orang-orang yang lurus, akan tetapi hal ini tidak dapat membuat mereka tidak mengakui bahwa apa yang mereka sepekati tidak sesuai dengan kenyataan, tidak logis, dan bertentangan dengan tujuan syariat Islam.
Ibnu sa’ad membagi sahabat menjadi 5 tingkatan. Kemudian Al-Hakim dalam Mustadraknya sahabat menajadi 12 tingkatan.
Tingkatan menurut Al Hakim dalam Mustadrak.
1.      Para sahabat yang masuk Islam di Makkah. Sebelum melakukan Hijarah, seperti para khulafa Arrasyiddin.
2.      Para sahabat yang mengikuti majlis Darunnadwah.
3.      Para shabat yang iku serta berhijrah ke negeri Habasyah.
4.      Para sahabat yang ikut serta pada baiat Aqabah pertama.
5.      Para sahabat yang ikut serta pada baiat Aqabah kedua.
6.      Para sahabat yang berhijrah setelah sampainya Rasulullah ke Madinah.
7.      Para sahabat yang ikut serta pada Perang Badar.
8.      Para sahabat yang berhijrah antara Perang Badar dan Perjannjian Hudaibiyyah.
9.      Para sahabat yang ikut serta pada baiat Ridwan.
10.  Para sahabat yang berhijrah antara perjanjian Hudaibiyyah dan Fathu Makkah, seperti Khalid Bin Walid dan Amru bin Ash.
11.  Para sahabat yang masuk Islam pada Fathu Makkah, seperti Abu Syufyan dan Muawiiyah.
12.  Bayi-bayi dan anak-anak  yang pernah melihat Rasullulah pada Fathu Makkah.

Pembagian sahabat menjadi beberapa tingkatan merupakan refleksi dari perbedaan tingkat keistimewaan masing-masing dari mereka. Tidak logis jika orang yang pertama masuk Islam disamakan tingkat keadilannya dengan orang yang masuk Islam pada hari Fathu Makkah. Perhatikan perkataan Umar yang menyatakan, “Siapa saja yang menentang kami terhadap kepemimpinan Muhammad dan keturunannya, ketahuilah bahawasannya kami adalah keluarga dan kerabat beliau.” Inilah ringkasan dari apa yang dikatakan Abu Bakar dan Umar pada pertemuan di Shqifah ini semua merupakan aplikasi dari bentuk perbedaan tingkat keistimewaan para sahabat secara syar’i, yang juga sekaligus menolak habis pendapat yang menyatakan bahwa para sahabat  mempunyai keadilan yang sama, tanpa terkecuali.
Perbedaan tingkat keistimewaan sahabat ini sama sekali bertentangan dengan pernyataan yang menyatakaan bahwa “Seluruh sahabat adalah orang-orang yang adil. Jika pernyataan ini memang pernyataan yang tepat, maka tidak diperlukaan pembagian tingkat keistimewaan sahabat, karena penyataan tersebut mempersamakan tingkat keadilan para sahabat.[8]




C.     Menyalahi Pendapat Ahlusunnah
Pendapat yang menyatakan bahwa orang-orang yang melemahkan salah seorang sahabat adalah kafir, merupakan pendapat yang salah, karena agama Islam sebagai agama samawi terkahir merupakan agama yang telah siapkan sedemikian rupa agar dapat diterima oleh setiap umat manusia, sesuai dengan kadar kemampuannya dalam memahami sesuatu. Agam Islam adalah suatu hal dan pemahamman kita terhadap Islam adalah hal lain yang berbeda, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan kita.Perbedan pendapat dan pemahaman bukanlah suatu bentuk kekafiran.[9]
Seandainya pemahaman seseorang terhadap agama adalah satu (serupa), maka tidak akan ada istilah Ijma kita temukan dalam keseharian kita dan tidak akan ada faedahnya  memahami sesuatu hal. Padahal, maslahat umat Islam terwujud dengan persatuan pemahaman, bukan dengan perbedaan. Dapat dikatakan bahwa orang yang menyatakan bahwa pemahamanya adalah pemahaman yang sesuai ajaran agama, kemudian membuat ancaman dengan mengatakan siapa saja yang menentang pendapat ini, maka ia telah keluar dari ajarn Islam dan ajaran syariat Allah, dan menghukumi mereka sebagai sebutan kafir, tidak akan melindungi, tidak memberi nafkah, tidak menshalat kan mayat mereka, adalah pendapat yang tidak sesuai dengan ketetapan agama Islam, dan ancaman yang mereka berikan adalah ancaman yang tidak sesuai denga nash  serta pendapat mereka batil secara mendasar.
Dalam membuat keputusan kebanyakan orang-orang berijtihad untuk apa yang mereka pahamilah pemahaman yang benar. Tidak hanya itu, mereka berusaha untuk mempengaruhi generasi-generasi Islam mengenai Ijtihad ini dan menutup rapat pintu ijithad untuk mencari hakikat kebenaran syariat, serta memploklamirkan bahwa pendapat mereka yang benar dan sesuai dengan agama, siapa saja yang meneyelisihkanya, maka mereka kafir. Hal ini bukan lah hak mereka, karena mereka adalah suatu hal, sedangkan agama adalah hal lain yang tidak pernah bertemu. Jika demikian, maka menyelisihi pendapat mereka dengan menggunakan pendapat ijtihad dan pemahaman sendiri bukanlah berarti menentang agama. Perbuatan memvonis seseorang kafir karena tidak sependapat dengan pemahaman seseorang adalah perbuatan yang menunjukan sikap berlindung dibalik nama baik agama.
Perlu diketahui bahwa pendapat yang menyatakan seluruh sahabat adalah orang-orang yang adil adalah pendapat yang timbul pada masa Bani Umayyah, yaitu sebelum definisi sahabat yang telah disebutkan sebelumnya mati (masih tetap diakui). Artinya, mereka telah menganggap adil para sahabat sebelum mereka memastikan betul mereka mati dalam beriman (khusnul Khotimah)? Pendapat ini dapat dipastikan tidak dapat diterima dilihat dari sandaran hukum pendapat tersebut.


Sisi-sisi yang membuat pendapat tersebut tertolak:
1.      Pendapat tersebut berhubungan dengan nash-nash al-Qur’an yang qaht’i. Pada zaman ini orang-orang munafik telah tersebar luas, mereka adalah orang-orang yang menampakan keimanan, dan lisannya mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mereka mengucapkan lafadz-lafadz yang serupa dengan kaum muslimin, meskipun hanya sebagai tipu daya mereka dan hinaan terhadap Islam.
2.      Pendapat tersebut bertentangan dengan nash-nash al hadis dalam beragam cabangnya: baik yang berupa perkataan, perbuatan, maupun yang berupa taqrir (ketetapan) Rasulullah.
3.      Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil, tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku.
4.      Pendpat tersebut bertentangan dengan ruh Islam secara umum, dengan aspek ke- Khusnul Khotimah – an seseorang, dan tujuan hidup.[10]

Contoh-contoh yang membuktikaan pertentangan dengan Nash
Contoh pertama:
-          Kisah tentang Tsa’ labah, Allah menghukumi dengan sebutan munafik dan termasuk dalam golongan-golongan yang berdusta. Dalam kisahnya, bahwa Tsa’ labah meminta pertolongan dengan Rasulullah untuk mendoakan dia mendapatkan rezeki. Dan permohonannya disetujui, tapi setelah dia cukup, dia ingkar tidak menginfakan hartanya. (Q.S At-Taubah [9]: 75-77)
-          Kisah tentang Walid bin Uqbah adalah seseorang yang fasik dan ahli neraka, tidak seorangpun yang dapat mengeluarkan dia dari api neraka, dan tidak ada jalan keluar dari api neraka tersebut. (Q.S As-Sajaddah [61]: 7)
-          Kisah tentang Abdullah bin Sarh, dia adalah orang-orang yang megada-adakan dusta terhadap Allah. Ia berusaha mengadakan perubahan pada kitabullah, ia adalah orang yang paling zalim dan mustahil akan mendapatkan petunjuk. (Q.S Ash- Shaff [61]: 7).
Ahlusunnah mengatakan bahwa mereka semua adalah sahabat, dan pernyataan untuk menjadi seorang sahabat pun telah terpenuhi, baik secara bahasa maupun istilah. Manakah hal yang paling tepat, kita bisa melihat kedua hal berikut ini yang dapat dipercaya: Kitabullah dan sikapnya terhadap ketiga orang dalam contoh yang telah disebutkan diatas atau bertaklid buta? Jadi bisa dilihat bahwa pernyataan tentang keadilan sahabat bertentangan dengan dalail qat’i dan keumuman lafadz bertentangan dengan hukum-hukum Allah.[11]
Seandainya kita sepakat dengan pendapat diatas, berarti kita telah meberikan penghargaan-penghargaan kepada orang-orang yang telah menyalahi ketentuan-ketentuan Allah. Dari uraian diatas telah membuktikan kebatilan pendapat yang menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Pendapat ini tidak lain hanya sebuah pencapaian suatu kepentingan-kepentingan politik, menutupi kedok mereka yang berusaha keluar dari ajaran syariat dan sebagai pembenar terhadap sikap mereka yang menyerahkan kekeuasan kepada oarang yang pantas. Akan tetapi, banyak orang yang mengikutinya dengan taklid buta, seperti layaknya sebuah mode yang diikuti.[12]

D.     Ayat-ayat dan hadis yang dijadikan dalil mengenai keutaman sahabat yang perlu ditinjau kembali.
1.      Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 143
  Nabi Muhammad telah menerangkan salah satu pengertian dari ayat. Kata Wasat pada ayat tersebut beliau artikan dengan adil. Nabi menyatakan, bahwa beliau dan umat Islam merupakan saksi yang adil terhadap kebenaran Nabi Nuh yang telah menyampaikan agama Allah kepada umatnya. Kalau begitu, ayat tersebut menerangkan keutamaan Nabi Saw. dan umat Islam pada umumnya, serta bukan hanya menerangkan keutaman para sahabat Nabi saja.
Kalangan ulama tafsir ada yang menjelaskan, ayat diatas merupakan pernyataan Allah bahwa umat Islam merupakan umat yang sebaik-baiknya bila dibandingkan dengan umat yang lainnya. Dengan demikian makin jelas, bahwa ayat tersebut tidak menerangkan kekhususan keutaman sahabat Nabi dari umat Islam lainnya. Jadi, ayat yang dimaksud tidak tepat bila digunakan sebagai argumen bahwa seluruh sahabat Nabi adil.




2.      Firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 110
Ulama pada umumnya berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Khair ummah dalam ayat diatas ialah umat Islam secara umum, bila dibandingkan dengan umat lainnya. Itu pun bila umat Islam melakukan amar ma’ruf nahy munkar dan beriman kepada Allah. Keutamaan itu bukan hanya dimiliki oleh sahabat Nabi saja, melainkan juga seluruh umat Islam pada masa berikutnya, dengan beberapa syarat diatas. Jadi argumen tersebut tidak tepat bila digunakan sebagai dalil keadilan sahabat.


3.      Firman Allah dalam surat al-Fath (48): 18
Ayat tersebut merupakan pernyataan kerelaan Allah kepada orang-orang yang beriman yang telah melakukan sumpah setia di bawah sebatang pohon. Sumpah itu dikenal dengan Bai’iat al-Ridwan, terjadi di Hudaibiyah, menjelang perdamaian Hudaybiyyah. Umat Islam yang hadir pada masa itu sekitar 1400 orang. Merka menyatakan sumpah setia kepada Nabi dengan tidak akan meninggalkan Hudaybiyyah untuk menghadapi serangan orang kafir Quraiys. Dalam ayat itu Allah menjajikan kemenangan kepada umat Islam pada waktu yang dekat. Bila dilihat dari jumlah sahabat yang menghadiri peristiwa tersebut, maka sahabt Nabi yang mendapatkan keutamaan tidaklah semuanya, tetapi hanya sebagaian.

4.      Firman Allah dalam surat al-Fath (48): 29
Dalam ayat ini, ulama berbeda pendapat tentang pengertian kata-kata dalam ayat tersebut yang berbunyi wallazina ma’ah sedikitnya, ada tiga pendapat, yaitu: seluruh sahabat Nabi, peserta hudaibiyah, dan semua orang yang beriman. Bila dilihat dai munasabah  ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelumnya, maka pendapat kedua lebih tepat, karena ayat-ayat sebelumnya membicarakan tentang para sahabat yang mengikuti Bai’at ar-Ridwan. Namun bila tidak dihubungkan, maka akan lebih tepat pendapat yang pertama dan ketiga, yaitu semua sahabat. Namun sifatnya umum, bukan untuk individu, karena karakter pengikut Nabi bermacam-macam. Karakter yang ada dalam ayat tersebut adalah karakter yang ideal.
5.      Hadis Nabi
 Berbunyi: “Generasi umat Islam yang terbaik ialah generasi Nabi, bukan generasi berikut dan seterusnya. Dalam hal ini, yang disebutkan adalah generasi bukanlah individu-individu. Ini berarti, kualitas generasi pada masa Rasul memang baik dibandingkan dengan generasi selanjutnya, namun bukan berarti ini sebagai dalil pemutlakan.[13]
Kesimpulan
Pergeseran atau perkembangan konsep ‘Adalah Sahabat telah berlangsung sampai pada saat ini. Para ulama klasik jelas telah menyepakati bahwa tidak perlu adanya penilaian terhadap para sahabat, karena konsep keadilan telah mereka sepakati, percayai, dan tertanam pada pribadi sahabat Nabi. Ilmu Jarh wa Ta’dil  yang digunakan ulama untuk penilaian rawipun terhenti sampai sahabat, karena dengan anggapan bahwa seluruh sahabat adalah ‘Adil.
 Beberapa poin tentang keraguan dari antitesi ‘Adalah Sahabat  yang timbul dari pengertian tentang  keadilan sahabat dan dari ulama-ulama, diantaranya sebagai berikut:
·         Terjadi keumuman makna tentang keadilan sahabat sehingga semua sahabat secara umum dikategorikan sebagai seseorang yang memiliki sifat yang ‘Adil
·          Terjadi  perbedaan dalam pemahaman di antara ulama tentang ‘Adalah  Sahabat.
·         Fitnah yang terjadi diantara para sahabat.(Ali dengan Mu’awiyah dan Ali dengan ‘Aisyah)
·         Sahabat adalah manusia biasa sehingga pengkajian penjustifikasiannya perlu untuk di lakukan untuk mencapai hasil yang otentik dan objektif.
·         Kerjadian perang, kejadian sahabat saling mengkritik maka hal ini secara eksplisit menunjukan untuk dilakukannya kajian yang mendalam atas hal tersebut.
Pendapat dari tradisional mengenai konsep keadilan sahabat sudah mengakar dalam setiap benak muslim, bahkan sudah mencapai pada dimensi keimanan, dimana seseorang dalam mengkritik sahabat akan mendapat respon yang negatif dan dinyatakan bahwa telah menyalahi sala satu prinsip iman. Kemudian secara metodologis, konsep ini memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kajian hadis tradisional dalam ilmu jarh wa ta’dil. Jadi dapat dilihat bahwa posisi keadilan sahabat memiliki posisi yang signifikan dalam metode kritik hadis tradisional.
Melakukan peng cross-cek  bukan dalam rangka untuk meruntuhkan metode kritik hadis tradisional. Karena ranah pemikiran manusia yang sudah masuk dalam dunia positiveisme (ilmiah) maka untuk melakukan hal tersebut dalam rangka menjadi seorang akademisi yang objektif terhadap ketimpangan fakta-fakta sejarah yang terekam, dan kita tidak boleh anti terhadap beberapa pendapat atau pemikiran. Sebagai seorang akademisi, kita tidak harus menerima begitu saja karena konsep ‘Adalah Sahabat  ini, karena sampai sekarang masalah ini masih hangat diperbincangkan dan masih layak untuk dikaji secara mendalam, serta perlu adanya revisi mengenai pengertian ‘Adalah Sahabat supaya mendapatkan makna ‘Adalah Sahabat tepat pada bidik sasarannya.
Wallahu A’lam Bishawab.


Daftar Pustaka:
Maryadi. 2002. Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam. Surakarta:Muhammadiyah University Press.
Hamidah, D. 2012. Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat. Skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA.
Muliati, B. 2004, Pandangan Abu al- A’la al-Maududi tentang konsep ‘Adalah al-sahabah dalam kritik sanad hadis.  Skripsi , Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA.
Turmudzi, E. KONSEP'ADĀLAHSAHABATSUNNAH DALAM PANDANGAN SYI’AH(STUDI KRITIK). File Type Pdf.
Jakfar,  T. ‘ULUM AL-HADITS DAN KORELASINYA DENGAN USHUL AL-FIQH. File Type Pdf.
Syia’ah dan Sahabat Nabi, sumber: Asy Syariah. File type pdf.




[1] Maryadi, “Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I; Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 1-9.
[2] Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 52-53.
[3] Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 55-58.
[4] Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 63-66.
[5] Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 67-69.
[6] Binti Muliati, 2004, “Pandangan Abu al- A’la al-Maududi tentang konsep Adalah al-sahabah dalam kritik sanad hadis” skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 77-78.
[7] Maryadi, “Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I; Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 14-15.

[8] Maryadi, “Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I; Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 19-21.

[9] Maryadi, “Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I; Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 25-26.

[10] Maryadi, “Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I; Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 28-34.
[11] Maryadi, “Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I; Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 38
[12] Maryadi, “Telaah Kritis tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I; Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 48.

[13] Binti Muliati, 2004, “Pandangan Abu al- A’la al-Maududi tentang konsep Adalah al-sahabah dalam kritik sanad hadis” skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 86-90.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Al-Maraghi

Amar dan Nahi Dalam al-Qur'an

Jarh wa Ta’dil