DIFERENSIASI MUFASSIR KONTEMPORER DAN KLASIK

DIFERENSIASI
MUFASSIR KONTEMPORER DAN KLASIK
Oleh: Achmad Soib (32)

Kedudukan al-Qur’an yang sedemikian sentral, maka tidak heran jika al-Qur’an mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan muslim maupun non-muslim. Salah satu bentuk nyata usaha dari perhatian besar umat islam terhadap al-Qur’an adalah upaya keras mereka untuk terus mempelajari dan memahaminya.[1] Sehingga lambat laun kajian terhadap penafsiran al-Qur’an terus berkembang cukup signifikan.
Al-Qur’an adalah hudal linnas (petunjuk bagi manusia) yang di dalamnya memuat ajaran moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Dalam posisinya sebagai kitab petunjuk, al-Qur’an diyakini tidak akan pernah lekang dan lapuk di makan zaman. Akan tetapi dalam kenyataannya, al-Qur’an sering kali dipahami secara parsial ideologis, hemat penulis al-Qur’an dianggap sebagi kitab yang sakral. Sehingga menyebabkan seolah menjadi teks yang mati dan tak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Padahal, konteks sosial historis, geografis pada zaman sekarang berbeda dengan konteks dimana saat wahyu itu turun, sehingga permasalahanpun berkembang. Oleh sebab itu, para pemikir tafsir kontemporer seperti Muhammad Abduh, Nasr Hamid Abu Zaid, Jasser Auda, Abdullah Saeed, dan beberapa tokoh lainnya merasa gelisah.[2]
            Mereka para penafsir kontemporer ingin merekrontruksi ulang model dan metodologi baru dalam pembacaan dan pemahaman atas al-Qur’an agar kitab suci umat islam ini benar-benar menjadi kitab petunjuk yang akan senantiasa relevan untuk setiap zaman dan tempat, serta mampu merespon setiap problem sosial keagamaan yang dihadapi oleh umat manusia zaman now. Ini menunjukkan bahwa paradigma pemahaman atas kitab suci al-Qur’an harus digeser dan di ubah; dari paradigma literalis-idiologis diubah ke paradigma kritis-kontekstual. Tanpa adanya paradigma yang baru, maka yang muncul pembacaan yang berulang-ulang dan bahkan tidak relevan untuk zaman sekarang dan tidak bisa menyelesaikan problem yang semakin berkembang.
Para mufassir kontemporer berasumsi bahwa untuk memahami al-Qur’an tidak cukup hanya mengandalkan perangkat keilmuan sebagaimana yang digunakan oleh mufassir klasik. Namun, di masa ini mufassir perlu menguasai ilmu hermenetika dan yang berhubungan dengannya, seperti ilmu sosiologi, antropologi, sains dan lain sebagainya.
Salah satu adagium yang selalu para pemikir tafsir kontemporer jadikan jargon adalah bahwa al-Qur’an “Sholihun li kulli zaman wa makan: kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan tempat”. Meski adagium ini juga diakui oleh ulama klasik, namun dalam memahami jargon tersebut berbeda antara mufassir klasik dan kontemporer.[3]
Para mufassir klasik adagium ini dimaknai sebagai “pemaksaan” makna literal ke berbagai konteks situasi dan kondisi manusia, maka para mufassir kontemporer mencoba melihat apa yang berada “dibalik” teks ayat-ayat al-Qur’an. Artinya para mufassir klasik lebih mengutamakan apa yang ada pada bunyi teks ayat al-Qur’an, kecuali ada dalil yang mengarahkan untuk mentakwil dari sebuah ayat. Sedangkan mufassir kontemporer mencoba mendalami makna lebih jauh apa yang terkandung dalam literal suatu ayat, tanpa dengan melihat ada dalil atau tidak yang menunjukkan makna takwil sebuat ayat. Karena mereka lebih mengkontekskan pada sosial historis pada masa itu.[4]
Selain pemahaman konsep adagium di atas, di antara mufassir klasik dan konteporer dalam menafsirkan al-Qur’an juga berbeda konsep metodenya. Para mufassir tradisional atau klasik kebanyakan cenderung melakukan penafsiran dengan memakai metode tahlili (seluruh ayat al-Qur’an ditafsirkan). Sedangkan para mufassir kontemporer dalam menafsirkannya banyak menggunakan metode ijmali (secara global) atau maudu’i (menafsirkan ayat-ayat yang satu tema).
Al-Qur’an memang merupakan kitab yang yahtamilu wujuhal ma’na (mengandung kemungkinan multi penafsiran). Sehingga adanya pluralitas penafsiran al-Qur’an adalah wajar-wajar saja, sepanjang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah dan moral. Penafsiran memang tidak akan pernah berhenti dan final, melainkan akan selalu mengalami perubahan dan dinamika seiring dan senafas dengan kemajuan peradaban dan tantangan yang dihadapi manusia. [5]
Dari beberapa pemikiran mufassir kontemporer, banyak menimbulkan kontroversi bagi orang yang fanatisme terhadap tafsir tradisional. Baik statment mereka terhadap konsep wahyu, yang ada pada meraka menganggap bahwa al-Qur’an tidak murni kalam Allah, al-Qur’an merupakan produk sejarah[6] dan lain sebagainya. Dan yang menjadi kejanggalan lagi, mereka dalam menafsirkan keluar dari bunyi teks yang ada tanpa ada dalil yang menunjukkan atas kandungan makna di balik ayat atau tanpa petunjuk dalil bahwa ayat tersebut perlu ditakwili. Mereka lebih mementingkan atau bahkan memaksa atas kontekstulitas al-Qur’an, yang seharusnya tidak perlu terjadi pemaksaaan-pemaksaan hanya untuk menjustifikasi dan melegitiminasi teori ilmu pengetahuan.[7] Telepas dari semua itu, maka perlu kajian satu-persatu tokoh mufaassir klasik dan tokoh mufassir kontemporer, karena dengan cara tersebut kita akan mengetahui pemikirannya tentang al-Qur’an akan di bawa kemana dari setiap tokoh.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          



[1] Miski,. Penafsiran Al-Qur’an Menggunakan Al-Qur’an Dalam Tafsir Jalalain, (Yogyakarta: Fakultas Ushuluddin UIN SUKA, 2015) hlm. 1.
[2] Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, 2012). Hlm. v.
[3] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. 95.
[4] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir , hlm. 95-96.
[5] Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir , hlm. vi.
[6] Mahir Munajjad, Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: eL-Saq Press, 2008), hlm. 173.
[7] Abdul Mustaqim, Epistimologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: LkiS Group, 2012). Hlm. 86.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Al-Maraghi

Amar dan Nahi Dalam al-Qur'an

Jarh wa Ta’dil