Sejarah Timbulnya Persoalan-persoalan Teologi dalam Islam
 
               Persoalan yang pertama-tama timbul adalah dalam bidang politik dan bukan dalam bidang teologi. Tapi lambat laun persoalan politik itu meningkat menjadi persoalan teologi. Pada masa Nabi Muhammad saw. di madinah Nabi tidak hanya menjadi kepala agama, tapi juga menjadi kepala kepemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang di patuhi di kota ini. Jadi tidak mengherankan kalau masyarakat Madinah pada waktu wafatnya Nabi Muhammad sibuk memikirkan pengganti beliau untuk mengepalai negara itu. Sehingga penguburan Nabi merupakan soal kedua bagi mereka.
            Timbulah soal khilafah, soal pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Sebagai Nabi atau Rasul, Nabi tentu tidak dapat digantikan. Sejarah meriwayatkan bahwa Abu Bakar-lah yang disetujuai oleh masyarakat islam pada waktu itu menjadi pengganti atau khalifah Nabi dalam mengepalai negara mereka. Kemudian Abu Bakar digantikan oleh Umar bin Khattab dan ‘Umar digantikan oleh Usman bin ‘Affan. Usman termasuk dalam golongan pedagang Qurasy yang kaya. Kaum keluarganya terdiri dari orang aristokrat Mekkah yang karena pengalaman dagang mereka, mempunyai pengalaman tentang administrasi. Pengetahuan mereka ini bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang bertambah banyak masuk ke bawah kekuasaan Islam. Ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menantang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gurbenur di daerah yang tunduk pada kekuasaan islam. Gurbenur-gurbenur yang tadinya diangkat oleh Umar Ibn al-Khattab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman. Dan digantikan oleh keluarganya Usman. Tindakan-tindakan politik yang dijalankan Usman ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan lagi dirinya. Sahabat-sahabat Nabi pada mulanya menyokong Usman, ketika melihat tindakan yang kurang tepat itu, mulai meninggalkan khalifah yang ketiga ini. Orang-orang yang semula ingin menjadi khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul pada waktu itu. Perasaan tidak senang muncul di daerah-daerah. Dari mesir, sebagai reaksi dijatuhkannya Umar bin ‘As yang digantikan oleh ‘Abdullah Ibn Sa’ad Ibn Abi Sarh, salah satu anggota kaum keluarganya Usman, sebagai gurbenur Mesir. Lima ratus pemberontak berkumpul dan kemudian bergerak ke Madinah. Perkembangan suasana di Madinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak dari Mesir itu.
            Setelah Usman wafat, Ali sebagai calon terkuat menjadi khalifah yang keempat. Tetapi segera ia mendapat tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi khalifah, terutama Talhah dan Zubeir, ia tak mau mengakui Ali sebagai khalifah. Ia menuntut kepada Ali supaya menghukum pembunuh-pembunuh Usman. Bahkan ia menuduh Ali turut campur dalam soal pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak-pemberontak Mesir, yang datang ke Madinah dan kemudian membunuh Usman adalah Muhammad Ibn Bakr, anak angkat dari Ali Ibn Abi Talib. Dan pula Ali tidak mengambil tindakan keras terhadap pemberontak-pemberontak itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi Gurbenu Mesir. Karena itu Mu’awiyyah sebagai keluarga Usman tidak terima dengan keputusan Ali. Akhirnya menimbulkan pertempuran yang terjadi antara kedua golongan ini di Siffin, tentara Ali dapat mendesak tentara Mu’awiyyah. Tetapi tangan kanan Mu’awiyyah ‘Amr Ibn al-‘As yang dikenal sebagai orang licik, minta berdamai dengan mengangkat Al-Qur’an ke atas. Qarra yang ada di pihak Ali mendesak Ali supaya menerima Aliran itu dengan demikian dicarilah perdamaian dengan mengadakan arbitrase. Sebagai pengantara diangkat dua orang ‘Amr Ibn al-‘As dari pihak Mu’awiyyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali. Dalam pertemuan mereka, kelicikan ‘Amr mengalahkan perasaan takwa Abu Musa.
           Sejarah mengatakan antara keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang saling bertentangan (‘Ali dan Mu’awiyyah). Tradisi menyebut bahwa Abu Musa al-Asy’ari delegasi dari Ali sebagai yang tertua, terlebih dahulu berdiri mengumumkan kepada orang ramai bahwa dari kelompok Ali menyetujui penjatuhan kedua tokoh tersebut (delegasi dari Ali mengumumkan bahwa Ali telah setuju pada penjatuhan dirinya). Akan tetapi berlainan dengan perjanjian, Amr Ibn al-‘As delegasi dari Mu’awiyah mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali saja yang mana telah di ucapkan oleh Abu Musa, dan Amr Ibn al-‘As menolak penjatuhan Mu’awiyyah. Bagaimanapun peristiwa ini merugikan bagi ‘Ali dan menguntungkan bagi Mu’awiyyah. Yang legal menjadi khalifah sebenarnya hanyalah Ali, sedangkan Mu’awiyyah kedudukannya tak lebih dari Gurbenur daerah yang tak mau tunduk kepada Ali sebagai khalifah. Dengan adanya arbitrasi ini kedudukannya telah naik menjadi khalifah yang tidak resmi. Tidak mengherankan kalau putusan ini ditolah Ali dan tak mau meletakkan jabatannya samapai ia mati terbunuh di tahun 661 M. Sikip Ali yang menerima tipu muslihat ‘Amr al-‘As untuk mengadakan arbitrase, sungguhpun dalam keadaam terpaksa, dan tiadak disetujui oleh sebagian tentanya.
             Mereka berpendapat bahwa hal serupa itu tidak dapat diputuskan oleh arbitase manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam al-Qur’an. La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari hukum Allah), menjadi semboyan mereka. Mereka telah memandang Ali Ibn Talib telah berbuat salah, oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan inilah yang terkenal dengan nama “khowarij” yaitu orang-orang yang keluar dan memisahkan diri dari Ali. Karena memandang Ali bersalah dan berbuat dosa, mereka melawan Ali. Ali sekarang menghadapi dua musuh yaitu Mu’awiyah dari satu pihak dan pihak kedua ini yang telah keluar dari barisanya(khowarij), Ali terlebih dahulu memusatkan usahanya untuk menghancurkan kaum khowarij. Akhirnya kaum khawarij dapat dikalahkan. Tetapi setelah kaum kedua dikalahkan Ali telah merasa capai untuk meneruskan pertempuran dengan Mu’awiyah. Pada akhirnya Ali wafat. Dan Mu’awiyah tetap berkuasa di Damaskus dan akhirnya Mu’awiyahpun dapat memperoleh pengakuan sebagai khalifah umat Islam pada tahun 661 M.
              Persoalan-persoalan yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah persoalan siapa yang kafir dam siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siapa yang masih tetap dalam islam. Khawarij memandang bahwa ‘Ali, Mu’awiyah, Amr Ibn al-‘As, Abu Musa al-‘Asy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir, karena al-Qur’an mangatakan ومن لم يحكم بما انزل الله فاوالئك هم الكا فرون Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan la hukma illa lillah. Karena kempat pemuka Islam di atas telah dipandang kafir dalam arti bahwa mereka telah keluar dari islam, yaitu murtad atau apostate, mereka mesti dibunuh. Maka kaum khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya orang yang dibebani membunuh Ali Ibn Abi Talib yang berhasil dalam tugasnya.
          Lambat laun kaum Khawajij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Qur’an, tetapi orang yang bebuat dosa besar juga dipandang kafir. Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian yang mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam islam. Persoalannya ialah : Masihkah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tafsir Al-Maraghi

Amar dan Nahi Dalam al-Qur'an

Jarh wa Ta’dil